Penyesuaian Tata Bahasa Indonesia sesuai dengan Ranah Penggunaannya
Tugas ke-4 Bahasa Indonesia 2
Membuat sebuah artikel argumentatif dengan topik "Berbahasa Sesuai dengan Ranah Pemakaiannya"
Nama : Andi Sareat Managara
NPM : 10110694
Kelas : 3KA22
Dengan mengacu fungsi-fungsi BI sebagai bahasa negara di atas, bahasa yang
berfungsi dalam penulisan naskah dinas adalah BI yang baik dan benar. Pengertian BI yang baik dan benar tidak dapat dipisahkan; keduanya ibarat sisi mata uang; BI adalah ragam BI yang sesuai dengan tuntutan konteks dan situasi komunikasi (keperluan/ kepentingan komunikasi); BI yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:
(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan):
(a) ketepatan struktur kalimat;
(b) ketepatan pembentukan kata;
(2) kecermatan pilihan kata:
(a) penggunaan kata yang tepat;
(b) menghindarkan unsur yang mubazir;
(3) ketepatan makna;
(4) ketepatan penulisan (pemakaian/penerapan kaidah EYD).
Keadaan Kebahasaan di Indonesia dan Kendalanya
Dengan kedudukan bahasa Indonesia yang istimewa, yaitu sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara, warga masyarakat Indonesia, baik secara perseorangan (individual) maupun secara kemasyarakatan (sosietal), merupakan warga masyarakat yang bilingual/multilingual. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia juga tergolong ke dalam yang disebut masyarakat diglosik dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme, termasuk di Indonesia
Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat.
Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional. Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi/terminologi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish; di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix; di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish; di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture. Di Indonesia campur kode BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado atau Indoenglish.
Interferensi (pengacauan) terjadi sebagai akibat dari adanya kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/ multilingual, yaitu perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur bahasa: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.
Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Kenyataan menunjukkan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah penggunaan. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia. Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam atau bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam tinggi, seperti di ranah pekerjaan, sekolah/kampus, radio, televisi, atau media yang lain. Dengan kata lain, bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam penggunaan bahasa.
Sebagaimana diketahui, berkomunikasi dengan bahasa dalam masyarakat yang amat heterogen (multietnik, multikultur, multibahasa/bilingual/multilingual, dsb.) seperti Indonesia ini, sekurang-kurangnya, menuntut hadirnya unsur-unsur komunikasi yang lain, seperti partisipannya (komunikan/komunikatornya): siapa berbicara, kepada siapa/lawan bicara (dengan identitasnya yang jelas, seperti status dan peran, lapisan sosial, usia, pendidikan, pangkat/jabatan, gender, etnisitas), tentang apa (topik pembicaraan: derajat keresmiannya), di mana, dan dengan bahasa yang mana (BI resmi/takresmi, bahasa asing/BA, ataukah bahasa daerah/BD).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur komunikasi dikemukakan di atas menjadi kendala yang menentukan penggunaan/pemilihan bahasa dalam naskah dinas, khususnya surat dinas. Contoh yang paling sederhana (yang ternyata tidak sederhana) adalah penggunaan kata penyapa yang tidak mustahil menuntut kernyitan dahi konseptor karena terpikir akan tepat atau tidaknya, santun atau tidaknya atas pilihannya. Tidak jarang (karena tidak mau pusing) konseptor memborong semua kata penyapa yang lazim digunakan, seperti Bpk/Ibu/Sdr./-i, dan dengan tanpa beban, surat itu ditandatangani oleh si pengirimnya; ia pun tidak peduli siapa yang dikirimi surat itu sekalipun pokok suratnya menyatakan permintaan bantuan. Padahal, menurut tata bahasa baku, BI tidak membedakan gender/jenis kelamin melalui perubahan -a menjadi –i , seperti Saudara dan Saudari, analog dari kata dewa-dewi (dari bahasa Sanskerta). Dengan kata lain, kita tidak mengembangkan sistem pemarkah gender melalui perubahan huruf –a menjadi –i.
Contoh lainnya adalah bahwa berkomunikasi dengan BI. dalam aneka jenis naskah dinas ternyata menuntut unsur kebahasaan yang tidak sama benar: struktur kalimat pada alinea pembuka, alinea isi, atau alinea penutup surat untuk jenis naskah dinas korespondensi, seperti surat permohonan/permintaan, surat pemberitahuan, dan surat pernyataan atau surat penjelasan tidak sama benar. Demikian pula tuntutan kebahasaan untuk komunikasi dengan jenis naskah dinas arahan, seperti surat pengaturan, penetapan, atau penugasan; unsur-unsur ketatabahasaan, khususnya variasi kalimatnya serta pemilihan kata/diksinya, tidak sama benar.
berfungsi dalam penulisan naskah dinas adalah BI yang baik dan benar. Pengertian BI yang baik dan benar tidak dapat dipisahkan; keduanya ibarat sisi mata uang; BI adalah ragam BI yang sesuai dengan tuntutan konteks dan situasi komunikasi (keperluan/ kepentingan komunikasi); BI yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:
(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan):
(a) ketepatan struktur kalimat;
(b) ketepatan pembentukan kata;
(2) kecermatan pilihan kata:
(a) penggunaan kata yang tepat;
(b) menghindarkan unsur yang mubazir;
(3) ketepatan makna;
(4) ketepatan penulisan (pemakaian/penerapan kaidah EYD).
Keadaan Kebahasaan di Indonesia dan Kendalanya
Dengan kedudukan bahasa Indonesia yang istimewa, yaitu sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara, warga masyarakat Indonesia, baik secara perseorangan (individual) maupun secara kemasyarakatan (sosietal), merupakan warga masyarakat yang bilingual/multilingual. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia juga tergolong ke dalam yang disebut masyarakat diglosik dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme, termasuk di Indonesia
Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat.
Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional. Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi/terminologi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish; di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix; di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish; di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture. Di Indonesia campur kode BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado atau Indoenglish.
Interferensi (pengacauan) terjadi sebagai akibat dari adanya kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/ multilingual, yaitu perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur bahasa: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.
Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Kenyataan menunjukkan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah penggunaan. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia. Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam atau bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam tinggi, seperti di ranah pekerjaan, sekolah/kampus, radio, televisi, atau media yang lain. Dengan kata lain, bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam penggunaan bahasa.
Sebagaimana diketahui, berkomunikasi dengan bahasa dalam masyarakat yang amat heterogen (multietnik, multikultur, multibahasa/bilingual/multilingual, dsb.) seperti Indonesia ini, sekurang-kurangnya, menuntut hadirnya unsur-unsur komunikasi yang lain, seperti partisipannya (komunikan/komunikatornya): siapa berbicara, kepada siapa/lawan bicara (dengan identitasnya yang jelas, seperti status dan peran, lapisan sosial, usia, pendidikan, pangkat/jabatan, gender, etnisitas), tentang apa (topik pembicaraan: derajat keresmiannya), di mana, dan dengan bahasa yang mana (BI resmi/takresmi, bahasa asing/BA, ataukah bahasa daerah/BD).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur komunikasi dikemukakan di atas menjadi kendala yang menentukan penggunaan/pemilihan bahasa dalam naskah dinas, khususnya surat dinas. Contoh yang paling sederhana (yang ternyata tidak sederhana) adalah penggunaan kata penyapa yang tidak mustahil menuntut kernyitan dahi konseptor karena terpikir akan tepat atau tidaknya, santun atau tidaknya atas pilihannya. Tidak jarang (karena tidak mau pusing) konseptor memborong semua kata penyapa yang lazim digunakan, seperti Bpk/Ibu/Sdr./-i, dan dengan tanpa beban, surat itu ditandatangani oleh si pengirimnya; ia pun tidak peduli siapa yang dikirimi surat itu sekalipun pokok suratnya menyatakan permintaan bantuan. Padahal, menurut tata bahasa baku, BI tidak membedakan gender/jenis kelamin melalui perubahan -a menjadi –i , seperti Saudara dan Saudari, analog dari kata dewa-dewi (dari bahasa Sanskerta). Dengan kata lain, kita tidak mengembangkan sistem pemarkah gender melalui perubahan huruf –a menjadi –i.
Contoh lainnya adalah bahwa berkomunikasi dengan BI. dalam aneka jenis naskah dinas ternyata menuntut unsur kebahasaan yang tidak sama benar: struktur kalimat pada alinea pembuka, alinea isi, atau alinea penutup surat untuk jenis naskah dinas korespondensi, seperti surat permohonan/permintaan, surat pemberitahuan, dan surat pernyataan atau surat penjelasan tidak sama benar. Demikian pula tuntutan kebahasaan untuk komunikasi dengan jenis naskah dinas arahan, seperti surat pengaturan, penetapan, atau penugasan; unsur-unsur ketatabahasaan, khususnya variasi kalimatnya serta pemilihan kata/diksinya, tidak sama benar.